“Meeting tadi berjalan lancar pak.
Laporannya sudah saya kirim ke email bapak.”
“Baiklah,
Alyanna. Besok kita ketemu di Medan ya..”
Kutekan tombol
bergambar gagang telepon warna merah. Setelah melapor kepada atasanku di
kantor, aku merasa mampu menghela napas lebih lega, setidaknya di penghujung
senja hingga sisa hari yang kulalui di kota ini, sebelum besok kulanjutkan perjalanan
dinasku ke beberapa kota, sepekan ini.
Setiap orang
butuh waktu untuk sendiri.
Aku pun. Di
jembatan yang telah
menjadi lambang kota Palembang ini, kini aku. Menikmati jingga di ujung senja
yang baru pertama kali kutemui di kota ini. Sebuah meeting menggiringku ke kota ini. Pertemuan dengan rekan bisnis
yang seharusnya dihadiri oleh atasanku tadi pagi. Lekat-lekat kuamati cincin yang
melingkar di jari manisku. Cincin berlian yang kuterima dari lelaki yang
berhasil mencipta jutaan cinta dariku untuknya. Cincin yang serupa kusematkan
di jari manisnya saat itu, sebenarnya ia sendiri yang menyiapkan semuanya,
menyiapkan kejutan demi kejutan untukku.
Matahari
sebentar lagi hilang tertelan Sungai Musi. Senja ini kian menjingga di
sepanjang jembatan Ampera. Sebentar lagi sensasi senja akan berganti dengan
tautan gelap malam di semesta. Aku merasakan ada mata yang mengintaiku. Aku
menoleh dan kuarahkan pandang ke sepanjang jembatan yang membelah sungai musi.
Lampu-lampu yang siap menghiasi Ampera di malam hari mulai dinyalakan, semakin
menambah jingga senja ini. Tiba-tiba kurasakan bahuku ditepuk halus oleh tangan
lembut.
“Alyanna
kan?” pemilik tangan lembut itu menegurku. Suara wanita.
“Hai,
ma.. maaf aku lupa. Siapa ya?”
“Aku
Widya. Kakaknya Wigar. Kamu pacarnya kan?”
Oh
Tuhan! Selama pacaran lebih dari lima tahun dengan pria itu, aku sama sekali
tidak pernah tahu kalau Wigar punya kakak perempuan bernama Widya. Kuamati wanita
jangkung ini dari ujung rambut sampai ujung kaki, kaos yang ia kenakan agak
kebesaran, jeans, dan sepatu bootnya memberi kesan maskulin pada dirinya. Hidung
mancungnya memang serupa dengan hidung kepunyaan Wigar. Senyum ramahnya juga
mirip. Ya, aku bisa percaya jika wanita itu memang saudara kandung Wigar. Sementara
mataku menjelajahi sosok wanita di hadapanku ini, otakku pun turut bekerja,
mencari tahu dari mana Widya mengenaliku sebagai pacar Wigar.
“Hmm..
Aku pernah liat fotomu di hp Wigar.” Widya memecah rasa penasaranku.
“Ow..”
Aku speechless jadinya. Bibirku menyunggingkan senyum.
“Sedang
apa di sini, Al? Bukannya kamu menetap di Jakarta, kan?”
“Aku
kebetulan ada tugas dari kantor, Mbak. Tapi besok juga udah balik kok. Mbak
Widya tinggal di sini ya?”
“Ya.
Ikut suami.”
Di saat aku ingin memulai hari-hari tanpa nama
Wigar di kepala dan hatiku, mengapa datang lagi orang yang mengingatkanku
tentangnya? Orang yang tak terduga pula datangnya! Ah!
Jingga
mengantarkan gundah di ujung senja. Sementara pengunjung jembatan ampera kian
ramai dengan senda gurau masing-masing dengan sungai musi sebagai saksi mereka,
lampu-lampu yang menghias sepanjang jembatan ampera kurasakan semakin menyorot
gundahku di hadapan wanita ini.
“Kapan
rencana kalian ke arah yang lebih serius?”
Hei! Kenapa jadi kayak wartawan infotainment yang
menodong selebriti dengan pertanyaan menusuk seperti itu? Aku harus jawab apa? Apa
aku harus bilang: No comment, seperti selebriti yang sedang tidak ingin
dicecar pertanyaan seperti itu? Atau aku harus jujur dengan kerenggangan yang
terjadi dan kerinduan yang tak mampu kompromi akan rentang jarak yang
membentang?
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan berkomentar ke blog ini. Pastikan mengisi kolom nama dan url blog agar saya bisa berkunjung balik ke blog teman-teman semua :)
Oiya, diharapkan tidak mencantumkan link hidup di dalam kolom komentar ya. Jika terdapat link hidup dalam komentarnya, mohon maaf akan saya hapus. Harap maklum.