Kuhirup udara sore yang cerah
ini. Kukumpulkan oksigen sebanyak mungkin yang mampu ditampung paru-paruku. Kutahan
sejenak, lalu kuhembuskan perlahan sambil terus mengamati tiap sudut di taman
ini. Setiap berkunjung ke kota ini, aku tak pernah lupa untuk mampir ke sini. Berdiri
tepat di bawah jam gadang, atau duduk di salah satu sudut taman. Sebenarnya bukan
mampir, tapi memang menyempatkan diri untuk datang.
Seperti itu pula kau. Selalu
tak peduli dengan kejenuhanku. Selalu tak mau tahu, bahwa aku bosan dengan
rindu. Entah apa yang ada di benakmu saat kau mempertahankan hubungan jarak
jauh yang begitu membosankan ini.
“Pokoknya kita tetap harus
bersama, Al. Sabarlah menunggu sampai hari bahagia itu tiba. Aku pasti akan
datang melamarmu. Karena aku masih dan tetap mencintaimu, Alyanna!” Ujarmu
meyakinkanku lewat telepon saat berkali-kali aku mencoba mengakhiri hubungan
kita. Ya, aku memang sudah merasa tidak nyaman dengan situasi seperti ini. Aku
bolak balik Padang – Makassar. Sementara kau? Kita sudah hampir setahun tak
bertemu sejak kau menjalani bisnismu di Gorontalo.
Mungkin
kau terlalu sibuk dengan usaha yang baru kau rintis, namun gejolak rinduku
sudah cukup lama kau belenggu, Wigar!
Kutekan tombol bergambar gagang
telepon berwarna merah. Aku tak sanggup mendengar lebih lama lagi suara Wigar.
Aku benci mendengar kata-kata cinta dan sejuta janji dari Wigar. Karena aku
sendiri tidak yakin dengan semua itu. Aku juga benci ketidakmampuanku berbicara
jujur. Ya, aku masih belum mampu mengatakan pada Wigar jika sebenarnya ada
Adrian yang selalu membuatku nyaman akhir-akhir ini. Teman kelasku semasa SMP
yang kutemui saat reuni beberapa waktu lalu. Lelaki dengan pesona yang mampu
menggetarkan sekujur tubuhku. Aku selalu merasa seperti ada balon udara yang menerbangkanku menikmati
keindahan rasa saat bersama Adrian. Adrian selalu berhasil menciptakan degupan
kencang di jantungku. Sesuatu yang sudah lama tak kutemui dengan Wigar.
Dilema. Seperti tangisan anak kecil di taman
jam gadang yang minta dibelikan permen namun tak diberi oleh ibunya. Seperti
dentang jam gadang dari keempat sisi yang berbeda. Seperti hendak membelah diri
ini menjadi dua bagian. Satu bagian untuk mengikuti kehendak Wigar. Satu lagi
untukku sendiri di zona yang membuatku nyaman.
Jam gadang menunjukkan pukul 17.30 ketika jingga
perlahan mulai menghiasi langit Bukittinggi. Aku masih di sini, mencoba untuk
mengumpulkan lagi kemampuanku untuk bisa jujur pada Wigar. Aku menengadahkan
kepalaku. Mungkin langit sore punya jawabnya. Atau gumpalan awan akan
membisikiku tipsnya. Mungkin sinar matahari yang sebentar lagi tenggelam akan memberi
tahuku cara terbaik yang harus aku lakukan. Kututup wajahku dengan kedua
telapak tanganku. Kuharap ada ketenangan di sana. Namun ternyata tidak. Yang
ada hanya gelap dan kegelisahan yang kian buncah.
Tiba-tiba smartphone-ku
berdering lagi setelah. Ada nama Wigar lagi yang berkedip-kedip dari layar
lebar itu. Kali ini aku harus jujur. Siap atau tidak, Wigar harus memberiku
lampu hijau. Lampu hijau untukku bisa melaju ke masa depanku tanpa Wigar.
Harus!
Flash Fiction ini diikutkan dalam #15HariNgeblogFF2
No comments:
Post a Comment
Terima kasih telah berkunjung dan berkomentar ke blog ini. Pastikan mengisi kolom nama dan url blog agar saya bisa berkunjung balik ke blog teman-teman semua :)
Oiya, diharapkan tidak mencantumkan link hidup di dalam kolom komentar ya. Jika terdapat link hidup dalam komentarnya, mohon maaf akan saya hapus. Harap maklum.