Kisah ini terjadi sekitar 2 tahun
lalu saat saya dan keluarga menjadi warga baru di daerah Pancoran, Jakarta
Selatan. Waktu itu kami baru saja pindah dari daerah Ciputat, Tangerang Selatan.
Maklum, selama menetap di ibukotanya Indonesia ini, kami sekeluarga memang
keluarga “kontraktor”. Tinggal di rumah kontrakan yang dekat dari tempat kerja
suami :)
Sebagai orang yang lahir dan besar di tanah
Bugis namun hijrah di Jakarta beberapa tahun terakhir ini, saya merasa lebih
nyaman untuk tetap menggunakan bahasa Bugis ketika berbincang dengan suami dan
saudara sepupu yang juga tinggal bersama kami. Terkadang, ketika kami melakukan
hal itu di tempat umum, terlihat raut wajah aneh dan bingung saat orang-orang
sekitar mengamati kami dengan bahasa dan dialek yang tak lazim di telinga
mereka. Mungkin saja mereka mereka-reka, asal daerah kami. Pernah bertemu
dengan seorang ibu di sebuah pusat perbelanjaan dan menebak kalau kami dari Sulawesi
Tenggara saat mendengar logat kami. “Kami dari Sulawesi Selatan, Bu. Provinsinya
masih tetangga dengan Sulawesi Tenggara”, ujarku saat itu.
Obrolan menggunakan bahasa bugis
juga sering kami gunakan untuk membahas hal-hal “rahasia” ketika kami di tempat
umum. Saya dan keluarga memang masih mempertahankan bahasa Bugis sebagai bahasa
sehari-hari dan perlu dilestarikan sebagai suatu bagian dari kebudayaan bangsa.
Bahasa Bugis, walaupun agak berbeda dari segi dialek antara Bone, Soppeng,
Wajo, Sinjai, dan beberapa daerah yang menggunakan bahasa Bugis, akan tetapi
ketika bertemu dengan orang Bugis (walaupun dialeknya berbeda) di Jakarta yang
dominan dari suku Jawa, Sunda, dan Betawi, saya merasa seperti bertemu dengan
keluarga sendiri di perantauan ini.
Suatu sore yang sangat cerah, saya
dan sepupu saya yang sama-sama belum hapal betul jalan di sekitar tempat kami
tinggal, berniat mencari kios yang khusus menjual beras (bukan kios kelontong
yang jualannya serba ada) dengan alasan harganya pasti lebih murah dibanding
kios kelontong. Dengan mengendarai sepeda motor, kami akhirnya menemukan kios
yang kami cari. Lokasinya sebenarnya tak begitu jauh, kira-kira 300 meter dari
rumah kontrakan kami. Ditempuh dengan berjalan kaki pun tak masalah.
“Aro pabbalu were’!” seru sepupu saya sambil menepikan motor yang
kami kendarai.
Motor telah terparkir di depan
kios. Tanpa ba-bi-bu, saya dan sepupu saya langsung nyelonong masuk ke dalam kios lalu memilah dan memilih beras yang
baik kualitasnya (versi saya) juga cocok di kantong. Hehehehe.. Pemilik kios
hanya mengamati saya dan sepupu saya dari jarak kurang lebih 1,5 meter dari
arah saya.
“Matebbe’ kessi’kessi’na di’?” Saya memperlihatkan beras yang ada dalam genggaman saya ke sepupu saya
untuk meminta komentar darinya.
“Iyya di’?” jawabnya.
Tiba-tiba pemilik kios berujar: “Tapileini laingnge”
Sontak saya dan sepupu saya
saling bertatapan. Dalam hati saya kaget, malu, tapi juga senang. Kaget karena
cukup jarang saya bertemu dengan saudara sekampung di Jakarta se-heterogen ini.
Malu karena mengomentari beras si penjual yang banyak pasir-pasirnya.
Senangnya? Ya karena bertemu sesama orang suku Bugis, tetanggaan pula. Serasa
di kampung sendiri. Hihihi..
Singkat cerita, saya akhirnya
jadi langganan beli beras di tempat ini. Bisa ditebak kenapa. Karena penjualnya
memilihkan beras terbaik dengan harga yang lebih murah. Apalagi saya suka beli
beras untuk stok 1 bulan. Kalau beli di tempat ini, pasti diberi diskon.
Komplet kan? Kualitas oke, harga oke, dapat diskon pula karena beli banyak.
Kebahagiaan buat ibu-ibu seperti saya. Hehehehe..
---
“Aro pabbalu were’!” = “Di sana ada penjual beras!”
“Matebbe’ kessi’kessi’na di’?” = “Banyak pasir-pasirnya ya?”
“Iyya di’?” = “Iya ya?”
“Tapileini laingnge” = “Ada pilihan lain nih..”
Sejujurnya, sebenarnya, sesungguhnya (#halah), saya.......ndak bisa berbahasa bugis :|. Merasa gagal sebagai penerus bangsa yang (katanya) berbudaya ini :'
ReplyDeleteAhahaha untungnya bukan ji calla2 kasar di'. Masih wajar koq kalo megomentari pasirnya. Tapi malu juga karena tertangkap basah sama pengguna bahasa yang sama :D
ReplyDeleteEnaknya kalo bisa ki' bhs Bugis. Saya masih belajar ini. Sy cuma mengerti sedikit krn bapak ji yang Bugis (Soppeng - Wajo), Ibu dari Gorontalo.
Suamiku Bugis (Pinrang-Sidrap yang besar di Pare). Alhamdulillah sy sudah dengar logat2 Bugis yang ternyata beragam
*Loh malah curhat ^_^*
Mantap Daenk....
ReplyDeleteHmmm ...
ReplyDeleteIndonesia memang banyak budaya dan bahasa